Tentu jika mengingat kembali, ada rasa sakit akan perlakuan yang diberikan disaat saya begitu terguncang dan membutuhkan bantuan yang seharusnya secara etika bisa diberikan.
Berikut Surat yang saya layangkan kepada Website Bethsaida Hospital dan Facebook account di tanggal 5 September 2014.
Kepada Bethsaida Hospital.
Adik saya William Tan dirawat dirumah sakit Bethsaida dari tgl 13 Agustus 2014 hingga 1 September 2014 dan kami memutuskan untuk pulang kerumah.
Tanggal 4 September 2014, jam 3 sore, Adik kami berpulang.
Jam 3.30 sore, saya menelpon ke Bethsaida, menanyakan apakah ada dokter yg bisa kerumah untuk memberikan surat keterangan kematian. Dan dijawab, belum ada pelayanan seperti itu. Dan tidak bisa diberikan surat kematian bagi yg tidak dirumah sakit.
Kemudian saya bertanya lagi, apakah bisa jikalau saya memakai ambulan membawa adik saya kesana dan kemudian dari dokter igd nya dibuatkansurat kematian. Kemudian dijawab kembali bahwa akte kematian tidak dapat diberikan kepada yg diluar rumah sakit.
Saya kembali menegaskan maksud saya bahwa saya ingin membawa adik saya kerumah sakit dengan ambulan dan dibuatkan surat kematian disana.
Dari seberang sana diminta untuk menunggu dan saya mendengar diskusi yg ada, dan ada suara yang berkata, "bilang saja tidak bisa."
Daripada menghabiskan waktu mendengar jawaban dari Bethsaida yang tidak juga membantu, aku tutup telponnya supaya waktu yg ada lebih berharga untuk segera mencari bantuan lain.
Beginikah pelayanan Bethsaida hospital, jika masih sakit boleh diterima, tetapi jika sudah meninggal, hanya ingin dibuatkan surat kematian pun tidak bisa. Padahal 3hari sebelumnya kami pasien disana, dan kami pun bersedia membayar jasa ambulan dsb?
Terima kasih untuk kesan yang ditinggalkan.
Saya mempertanyakan slogan dari rumah sakit Bethsaida, Health Care with Heart, Really?
Surat ini tidak pernah dijawab. Tanggal 9 September, saya melayangkan email kepada redaksi kompas mengenai hal ini. Tanggal 10 September 2014 sore hari melalui Telepon, kepada Calvin, dengan meminta maaf dan berjanji akan memberitahukan kepada Manajemen.
Tetapi tahukah Rumah Sakit Bethsaida, betapa kekecewaan yang kami alami.
Pengalaman tidak menyenangkan dengan Rumah Sakit Bethsaida telah dialami saat perawatan yang pertama kalinya.
Saat dimana akhirnya kami harus memutuskan pindah Rumah Sakit ke yang paling dekat dengan keluarga, kami dengan segala pertimbangan mengambil langkah percaya kembali, dengan memutuskan bahwa kali ini will be better, we change the doctor and everyone learn from the mistake.
Saya rasa mengambil langkah percaya kembali bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan.
Note: mengingat betapa banyak orang memilih dirawat di luar negeri.
Selama perawatan yang berlangsung, semuanya berjalan seperti rumah sakit biasanya.
Keputusan untuk membawa kembali William kerumah disaat kondisinya demikian, karena tidak ada hal yang akan kami lakukan dirumah sakit kembali, sehingga kami bisa 24 jam bergantian menjaganya dirumah.
Selama perawatan yang berlangsung, semuanya berjalan seperti rumah sakit biasanya.
Keputusan untuk membawa kembali William kerumah disaat kondisinya demikian, karena tidak ada hal yang akan kami lakukan dirumah sakit kembali, sehingga kami bisa 24 jam bergantian menjaganya dirumah.
Tentupun saya sudah menyiapkan seandainya William berpulang dirumah, saya harus lakukan apa yang pertama kalinya, dan nasihat yang diberikan pada saya adalah "call the hospital".
Sayangnya rumah sakit dimana William terakhir dirawat memberikan jawaban yang begitu mengguncangkan saya saat itu. Saya tidak ada plan lainnya. Sayapun tidak sempat untuk merasa emosi, yang saya tahu, saya hanya berdoa saja.
Saya menelpon rumah duka dan mereka menyampaikan untuk mencari dokter di klinik terdekat.
Jam 15.30, Sulit sekali mencari dokter praktek disaat jam begitu. Teman yang merupakan kakak bagiku, Hiriyanto, tiba dirumah, dan dia membantu mencarikan dokter. Saat itu kami baru terpikir untuk menghubungi Pdt Andreas Loanka, namun kami urungkan karena takut akan ada dua pihak yang mencari. Ternyata ada juga keajaiban yang boleh kami rasakan, dalam kebetulan yang tidak kebetulan, Hiri akhirnya mencari Pdt Andreas dan kemudian dapat menghubungi Dr. Monica yang bersedia kerumah. Kiranya Tuhan yang membalas kebaikan mereka.
Persoalan mengurus surat-surat yang dibutuhkan untuk Akta Kematian tidak berhenti sampai disana.
Domisili William Tan di KTP adalah di Jakarta, sedangkan meninggalnya di Serpong, Tangerang.
Dari surat kematian yang dikeluarkan oleh dokter klinik, kami harus ke institusi setingkat diatasnya yakni Puskesmas. Di Jakarta membutuhkan Form A1 sedangkan di Tangerang tidak, sehingga Puskesmas tidak serta merta bisa keluarkan surat kematian. Hal ini menyebabkan Calvin harus bolak balik mengurus semua surat di Jakarta maupun di Serpong, Tangerang setiap harinya.
Sampai hari ini, tanggal 10 September akhirnya urusan surat kematian selesai agar bisa diserahkan untuk mengurus Akta Kematian.
Dalam suasana kedukaan, kami harus tetap berusaha menyelesaikan persoalan administrasi.
Seandainya Rumah Sakit Bethsaida tanggap semenjak awalnya, tentu cerita akan berbeda.
Tentulah saya juga belajar, ternyata tidak semua rumah sakit akan menerima pribadi yang meninggal dirumah, walau pribadi itu pasien rumah sakit itu beberapa hari sebelumnya dan rekam medis penyakitnya sangat jelas.
Saya tidak pernah menyesali membawa adik saya kerumah hingga dia berpulang, betapapun administrasi yang lebih ribet harus kami jalanin.
Namun kiranya hal ini boleh jadi pembelajaran.
Thank u Er untuk sharingnya...
ReplyDelete