Beberapa waktu yang lalu, saat pertemuan kelompok orang tua, pemimpim kami sempat membahas mengenai respond vs react.
Pagi hari sabtu, seperti biasanya, mama akan antar Josh les piano.
Namun saat akan masuk ke dalam mobil, Josh jatuh dijalanan menurun depan pagar rumah. Mama pun kaget dan syukurlah tidak ada apa apa hanya celana yang kotor.
Celana pun diganti, dan mama ingatkan Josh untuk menunggu mama kali ini. Mama akan tutup pintu dahulu.
Namun entah bagaimana Josh kembali turun di jalan yang sama dan kemudian terperosok kembali.
Kali ini mama bukan lagi berempati namun mama emosi, mama bereaksi, "kenapa Josh tidak tunggu mama, kenapa Josh turun lagi sendiri dan jatuh kembali. Kita sudah terlambat ke tempat les".
Mama harus mengganti celana josh sekali lagi, dan waktu terus berjalan.
Kali ketiga, mama katakan dengan tegas, harus tunggu. Dan Josh yang masih sedih dan terisak, menunggu mama, masuk ke dalam mobil dan berangkat.
Selama di perjalanan, mama menyesal, apa yang telah mama lakukan.
Dalam kejadian diatas, bukannya mama meresponi malah justru mama bereaksi terhadap emosi mama sendiri.
Reaksi mama, walaupun akhirnya josh taat, tetapi dia tast dengan kesedihan dan ketidakmengertian.
Tidakkah lebih baik jika saat kejadian kedua, mama tanyakan baik-baik bagaimana keadaan Josh? Lalu katakan baik-baik padanya, bahwa syukurlah keadaan josh tidak luka walaupun Josh dengan ketidaktaatan josh jatuh ditempat yang sama untuk kedua kalinya. Mohon boleh tunggu mama yah nak.
Dengan meresponi dengan baik, tentunya Josh akan belajar tentang kasih yang mengampuni, dan tentunya dia akan taat juga untuk menunggu.
Sesudah kejadian ini, saat waktu siang, mama kembali mencoba menjelaskan kepada Josh.
Kiranya dalam kesempatan didepan, mama boleh meresponi kejadian bukan bereaksi sesaat.
No comments:
Post a Comment